Poems

Jogging Di Jakata

Ahhh,
subuh jalan-jalan di kota
tanpa peta, asing juga -
nama-nama jalan telah diganti, sampai
kehabisan pahlawan mati
jalan dan lorong, jalur-jalur kota
seperti pesan dan janji-janji
yang tidak dipenuhi, torehan di hati -
jalur-jalur kota di peta tua
berwarna coklat sepi
 
Ya,
jalan-jalan masih lengang
orang berlari-lari, membebaskan diri
dari kelebihan beban mati
terinjak bunga tanjung, langka
bertebaran, terawa harum dan sedikit embun
Kini
kota terbangun di songsong hari
yang mulai terang, lampu-lampu jalan
tiba-tiba padam, mobil satu-satu
belum peduli, meluncur kencang malanggar
rambu-rambu dan arah terlarang
 
Minggirlah,
ada becak sarat ditimbun sayuran
didayung kaki cepat-cepat
mengejar jualan di pasar pagi
Lihat -
di simpang kakilima pisang dan ubi
Mulai digoreng untuk buruh bangunan
yang jongkok, bergumam -
laju pembangunan pesat, akselerasi dan
kontinuitas terjaga, selama ada komisi -
kebersihan kota pun terjamin: puntung rokok
dipungut cermat, tak ada yang tersisa
oleh lasykar membawa keranjang
sosok-sosok bayangan menelusuri pohon
tempat sampah dan selokan
mata tertambat ke bawah, cekatan
puntung terangkat oleh semacam jepitan
 
Ai,
terang sebentar lagi, diburu
tuntutan berkarya sepanjang hari - peta sepi
antara Monas, pancuran, jembatan, arah
Kebayoran atau Kuningan
peta lapuk, seperti jantung tua
dengan sudut-sudut gelap di mana arus
terhambat, kemudian terhenti -
Karet, Menteng, Pulo, Tanah Kusir, apa pun jadi
asal terlentang, jangan sampai ditanam berdiri
karena tanah pekuburan semakin langka -
 
Tapi -
paling risau nanti, kiranya bila entah
karena apa, tidak jadi dimakamkan di Jakarta
dan dini hari
atau lain ketika, roh dengan nostalgia
akan mencari-cari, tidak mengenal kota kembali -
mana peta sepi Jakarta, dengan
tanda silang, catatan dan coretan, garis-garis
torehan luka kehidupan
 
1980